Kolom AndaPemilu 2024

Pemilu dan Problem Partisipasi Era Milenial

585
×

Pemilu dan Problem Partisipasi Era Milenial

Sebarkan artikel ini

‌TULISAN ini merupakan beberapa catatan penting atas gelaran diskusi bersama Forum kerjasama LSM dan ORMAS dalam rangka pendidikan pemilih oleh KPU Provinsi Sulawesi Tengah yang dilaksanakan pada tanggal 15 Juli 2018 diWarkop Ansor Sulawesi Tengah. Dengan dihadiri oleh beberapa LSM dan Ormas serta organisasi kepemudaan serta tokoh masyarakat dan tokoh agama. Diskusi ini difasilitasi dalam upaya memberikan kesepahaman bersama sebagai wujud melibatkan masyarakat sipil dalam tahapan pemilu di Sulawesi Tengah.

Pemilu dan Masalah Partisipasi

Pemilu menjadi aspek penting dalam mengokohkan demokrasi sebagai pilihan rezim terbaik dalam pengorganisasian politik di negara negara moderen termasuk di Indonesia. Salah satu problem pengorganisasian politik dalam negara demokrasi adalah rendahnya partisipasi politik masyarakat didalamnya.

Padahal partisipasi menjadi instrumen penting dalam mengukur suatu keberhasilan pemilu diluar parameter perementer lainnya yakni free and fair, kamampuan mengelola konflik dalam pemilu dan terpilihnya calon yang kredibel dan berintegritas dalam kontestasi politik pemilu. Di Indonesia dikenal adanya siklus penyelenggaraan pemilu oleh The International IDEA melihat proses pemilu sebagai sebuah siklus yang tak terputus.

Dalam siklus tersebut ada tiga periode, pertama periode pra-pemiliu, periode pemilu, dan periode pasca-pemilu. Dalam siklus tersebut yang termasuk dalam siklus pemilu antara lain misalnya; penyusunan dan perancangan peraturan terkait pemilu, termasuk pembuatan undang-undang pemilu, rekrutmen para penyelenggara pemilu, penjadwalan pemilu, proses pendaftaran pemilih, pendaftaran peserta pemilu, kampanye, proses pemungutan suara, penghitungan suara, penyelesaian perselisihan hasil pemilu, pelantikan calon terpilih, pelaporan hasil penyelenggaraan Pemilu.

Pemilu yang dilaksanakan selama 22 bulan sebagaimana dalam UU 7 Tahun 2017 tentang pemilu dan diimplementasikan dalam Peraturan KPU Nomor 5 tahun 2018 tentang Tahapan, program dan Jadwal Pemilu 2019 dirasakan sangat panjang dan bisah membosankan bagi peserta pemilu dan pemilih. Akan tetapi durasi yang panjang itu terasa sempit dilaksanakan oleh Penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU, Kpu provinsi dan KPU Kab / kota di Indonesia. Padahal dalam UU disebutkan bahwa hari adalah hari kalender sehingga KPU dalam melaksanakan tahapan pemilu selama 22 bulan itu berdasarkan hari kalender bukan berdasarkan hari kerja.

Permasalahan partisipasi dalam pemilu, mestinya dilihat dalam konteks siklus pemilu tersebut. Tidak saja saat pelaksanaan pemilu pada voting day, akan tetapi dalam keseluruhan tahapan pemilu. Misalnya saja pada tahapan pencalonan atau pengajuan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/kota, mulai dari saat pendaftaran sampai dengan penetapan daftar calon tetap mulai tanggal 4 Juli sampai dengan tanggal 21 Juli 2018, masyarakat bisah turut serta dalam berpartisipasi mengawal proses pencalonan tersebut.

BACA JUGA :  Idul Fitri, Pabrik di PT IMIP Tetap Beroperasi

Tanggapan dan tracking masyarakat terhadap dokumen syarat calon masing Calon Legislatif terkait dengan kebenaran dan keabsahan secara administratif sangat diperlukan sebagai bentuk dan Wahid partisipasi menyelenggarakan pemilu yang demokratis dan berintegritas.

Meski proses seleksi calon sudah dilakukan oleh partai politik secara demokratis dan transparan sebagaimana pengaturan internal parpol, akan tetapi masyarakat sipil diberi ruang dan waktu untuk memberi tanggapan terkait calon yang telah didaftarkan sampai dengan penyusunan dan penetapan Daftar Calon Tetap. Jika disebabkan oleh tanggapan masyarakat ditemukan bakal calon yang diajukan partai politik tidak sesuai dengan fakta integritas yang telah ditandatangani oleh ketua dan sekretaris partai politik sesuai tingkatannya maka KPU, KPU Provinsi dan KPU Kab/kota dapat mencoret dari Daftar Calon sebagaimana yang diajukan oleh Partai Politik.

‌Dalam konteks partisipasi memang masih terdapat persoalan dalam mengawal pemilu yang berintegritas dan berkualitas. Problemnya memang pada trend penurunan tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu, adanya inflasi kualitas partisipasi, literasi politik terbatas, voluntarisme dan keswadayaan masyarakat sipil yang meredup. Padahal sistem dan proses setiap tahapan pemilu dilakukan secara transparan dengan menggunakan informasi teknologi.

Kalau tahapan pencalonan menggunakan Sistem Informasi Pencalonan, dimana semua proses dan informasi bakal calon diumumkan kedalam Silon. Informasi terkait data pemilih dibuat dalam Sistem Informasi Pemutakhiran Data Pemilih ( Sidalih), ada Jaringan Data Informasi Hukum, ada Sistem Informasi Pemungutan dan Penghitungan Suara ( SITUNG) ada Sistem Informasi Peserta Pemilu Perseorangan ( SIPPP), ada Sistem Informasi Partisipasi Masyarakat ( Siparmas ), ada sistem Informasi Logistik ( SILOG) dll.
‌sistem informasi keterbukaan pelayanan pemilu ini oleh KPU menjadi salah satu ruang yang bisah dijadikan bentuk partisipasi masyarakat dalam pemilu di Indonesia.

‌Spektrum Sebab Persoalan Partisipasi
Banyak spektrum sebab yang dapat dijadikan sebagai kajian ilmiah mengapa masalah partisipasi diatas menjadi persoalan serius dalam pemilu yang demokratis di Indonesia. Ada beberapa parameter paling tidak yang dijadikan dasar yakni :

Pertama ; Sistem kepercayaan,
Sistem kepercayaan ini sangat erat kaitannya dengan doktrin keagamaan atau teologi atau nilai sosial budaya yang kontraproduktif dengan dukungan terhadap pemilu dan demokrasi. Sistem kepercayaan yang secara idiologis menolak terhadap sistem demokratisasi baik secara individual maupun secara sosial yang berkembang dimasyarakat bisah menjadi hambatan dalam peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemilu dan demokrasi.

BACA JUGA :  Polsek Lampasio Bongkar Pabrik Miras di Tinading

Kedua ; Sistem Politik, secara politik terdapat struktur dan aktor politik yang memberi disinsentif kepada kepercayaan publik tentang politik. Rendahnya pendidikan politik dari lembaga lembaga suprastruktur politik dengan memberi saham pengetahuan politik kepada warga bisah menjadi hambatan atau paling tidak dapat berpengaruhnya terhadap kepercayaan dan keyakinan warga negara terhadap hak konstitusinya dalam pemilu.

Ketiga ; Administrasi pemilu, dalam pemilu di Indonesia hal yang tersulit adalah banyaknya adminitrasi yang harus dikerjakan oleh penyelenggara pemilu yang berpotensi menghambat terhadap suatu tahapan pemilu. Adminitrasi yang rumit di pemilu Indonesia bisah berpotensi terjadinya sengketa adminitrasi yang berkepanjangan sementara tahapan waktunya terus berjalan.

Masyarakat pun belum tumbuh kesadarannya terkait dengan pengenalan adminitrasi kepemiluan. Sehingga untuk mengakses pun belum menaikan tingkat partisipasi masyarakat dalam mengontrol administrasi pemilu.

Misalnya saja, terkait dengan semua formulir dalam pendaftaran bakal calon anggota DPR, DPD, DPDR provinsi dan DPRD Kab/kota, masyarakat tentu belum menjadikan hal ini sebagai sesuatu yang penting untuk dikawal.

Sebab pandangan masyarakat bahwa terkait dengan adminitrasi kepemiluan itu adalah menjadi tugas dan tanggungjawab KPU dan Jajarannya. Begitulah pula berlaku sama dengan formulir tahapan yang lain termasuk formulir model dalam Tahapan Pemungutan dan Penghitungan Suara yang begitu banyak sebagai kelengkapan dalam Pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi secara berjenjang mulai dari KKPS, PPS, PPK, KPU Kab/Kota, KPU Provinsi dan KPU.

Keempat, individu ; hal ini terkait dengan adanya keperluan atau kepentingan pribadi orang perorang yang lebih penting dari sekedar untuk.memperhatikan dan mengawal pemilu.

Sebagian masyarakat kita masih beranggapan bahwa derajat kepentingan dan keperluan individu dalam masyarakat itu jauh lebih penting dari mengurus pemilu. Padahal dengan kita merasa berkepentingan terhadap pemilu dalam negara maka pemilu dapat dijadikan sebagai instrumen dalam memperbaiki nasib dan kesejahteraan masyarakat.

Dengan memilih, kita bisah menghadirkan pemenang kontestasi pemilu dari mereka yang berintegritas dan baik untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan warga negara. Harapan menjadikan “negara kesejahteraan ” melalui pemilu adalah wujud dari cita cita pemilu dalam negara demokratis.

Strategi KPU dalam Sosialisasi Pemilu

Salah satu kesuksesan pemilu dapat dilihat dari tingkat partisipasi masyarakat atau pemilih dalam setiap tahapan pemilu.KPU sebagai penyelenggara pemilu tentu memiliki desain sosialisasi yang dianggap strategis dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam tahapan dan proses pemilu. KPU telah melakukan kebijakan lingkup strategi desain sosialisasi.

BACA JUGA :  Bentrok Eksekusi Lahan di Luwuk Sejumlah Aparat dan Warga Terluka, Simak Video-videonya..

Dalam setiap struktur dan jenjang KPU diharapkan sebagai lokomotif dalam menyebarkan informasi kepemiluan secara terstruktur, sistematis dan massif. Badan Adhoc penyelenggara pemilu seperti PPK, PPS dan KPPS dijadikan sebagai duta sosialisasi untuk peningkatan partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan pemilu.

KPU juga mengemas program kegiatan yang melibatkan stakeholder lain agar turut serta berpartisipasi dalam pemilu. Misalnya saja, perguruan tinggi, pers media, pemerintah, badan swasta, kelompok strategis lainnya seperti ormas, LSM, penyandang sisabilitas, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh perempuan dan lain sebagainya.

Pengemasan aktivitas sosialisasi dan peningkatan partisipasi dalam konsep electiontainment dilakukan dengan membuat materi sosialisasi sederhana, materi nya mudah dipahami oleh masyarakat atau pemilih. Pengemasan produk sosialisasi diera milineal perlu dilakukan dengan cara yang menghibur, ringan dan ramah.

Sosialisasi Pemilu Era Milenial

Konsep dan metode sosialisasi berbasis keluarga menjadi salah satu motade strategis diera milineal. Sosialisasi Pemilu 2019, harus bisa menyentuh generasi milenial dimana saat ini menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Generasi milenial atau sering disebut generasi Y adalah sekelompok orang yang lahir setelah generasi X, terlahir pada kisaran tahun 1980-2000-an. Anak muda umumnya apatis bahkan menganggap politik adalah dunia nista.

KPU Selayaknya terlecut untuk menggaet anak muda. Menurut Tapscott (2009), ada tiga pembagian generasi, yakni generasi X (1965-1976), generasi Y (1977-1997), dan generasi Z (1998-sekarang). Artinya, generasi milenial berumur antara 17-37 tahun.

Generasi ini sangat berbeda dari generasi sebelumnya, terutama dalam penguasaan teknologi. Mereka lebih akrab dengan dunia maya, khususnya penggunaan media sosial. Generasi milenial memiliki ciri khas tersendiri, ia terlahir ketika era di mana sudah ada televisi berwarna, telepon seluler dan internet. Sehingga generasi ini mahir dalam memanfaatkan teknologi modern.

Dalam perhelatan pemilu 2019, terutama generasi milenial merupakan pemilih potensial (voter) yang sangat berpotensi sebagai agen perubahan. Generasi milenial kelak menjadi calon penerima estafet kepemimpinan bangsa. Terhadap kehidupan politik, generasi milenial mempunyai karakter, pertama, mereka lebih melek teknologi tetapi cenderung apolitis terhadap politik.

Maka dengan demikian sosialisasi pemilu di dunia maya atau media sosial sangatlah strategis dalam menumbuhkan kesadaran dan pengetahuan politik dan pemilu di Indonesia tahun 2019. Semoga manfaat.

Penulis:

Sahran Raden, Komisioner KPUD Sulawesi Tengah