Tutup
Sulawesi Tengah

Upaya DSLNG Selamatkan Maleo dari Kepunahan

×

Upaya DSLNG Selamatkan Maleo dari Kepunahan

Sebarkan artikel ini

LUWUK, Kabar Selebes – Dua puluh maleo (Macrocephalon maleo) burung langka endemik Sulawesi, dilepasliarkan di kawasan Suaka Margasatwa Bakiriang, Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Kamis, (27/9/2018).

Advertising

Pelepasan maleo itu dilakukan oleh PT. Donggi-Senoro LNG sebagai bentuk kontribusi terhadap upaya pemerintah daerah dalam melestarikan maleo salah satu satwa endemik Sulawesi.

Menurut Manager Corporate Sosial Responsibility (CSR) PT. Donggi–Senoro Tik Djuliatno Pumono dalam kurun waktu lima tahun terakhir DSLNG sudah lima kali melakukan pelepasliaran Maleo di kawasan Suaka Margasatwa Bakiriang.

“Untuk keseluruhan sudah 68 ekor anakan Maleo hasil konservasi ex situ yang kami kembalikan ke habitat aslinya dengan harapan akan meningkatkan populasi satwa langka tersebut,” ujarnya.

Pelepasan pertama kali dilakukam pada 7 Oktober 2013 sebanyak 11 ekor anakan maleo, kedua pada 6 Agustus 2017 sebanyak 17 ekor anakan maleo, ketiga pada 23 Oktober 2017 sebanyak 10 ekor anakan maleo, keempat 20 Desember 2017 sebanyak 10 ekor anakan maleo dan kelima pelepasan maleo dilakukan 27 September 2018 sebanyak 20 ekor.

Menariknya, maleo yang telah dilepasliarkan itu, sebelumnya adalah telur-telur maleo hasil sitaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Palu dari tangan masyarakat. Oleh DSLNG dikembangbiakkan melalui proses inkubator di lokasi pelestarian burung Maleo yang diberi nama “Maleo Center DSLNG”

Maleo Center DSLNG yang memiliki luas 7.500 m2 didirikan pada tahun 2013, berlokasi dalam pembangunan kilang gas alam cair Donggi Senoro, Desa Uso, Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai.

“Fasilitas didalamnya dilengkapi dengan inkubator penetasan, inkubator pemeliharaan dan kandang pemeliharaan, hingga anakan maleo siap untuk dilepasliarkan ke habitat asli,” terangnya.

Ia menyebutkan proses pengeraman dilakukan selama satu sampai dua bulan, ditambah dengan proses pembesaran selama empat sampai enam minggu. Setelah itu baru dilepasliarkan dialam bebas.

Program konservasi ex situ, tambah dia, dilakukan DSLNG bersama BKSDA Palu dan para peneliti dari Universitas Tadulako sejak bulan Juni tahun 2013 silam.

Sejak diresmikan, Maleo Center DSLNG telah mendapatkan penghargaan dari United Nations Environmental Programme (UNEP), World Environment Day 5 June 2013, Kepala BPLH Banggai, Sulawesi Tengah dan CSR Award kategori Silver pada 28 November 2014 untuk kategori pelibatan dan pengembangan masyarakat dan lingkungan.,

Selain sebagai tempat konservasi, Maleo Center DSLNG juga berfungsi sebagai sarana edukasi lingkungan yang terbuka bagi masyarakat umum.

Kepala BKSDA Palu Noel Yayuk Allo, menilai usia anakan maleo yang dikembangbiakkan oleh DSLG sudah layak untuk dilepasliarkan.

“Jika melihat usianya yang sudah mencapai empat sampai enam minggu maka anakan burung maleo itu sangat siap hidup diarea habitatnya. Saya berharap setelah pelepasan anakan burung ini, tidak dimakan oleh predator yang ada disekitarnya,” harapnya.

BKSDA sendiri selalu melakukan upaya pelestarian maleo karena burung ini merupakan salah satu satwa yang dilindungi Undang-undang nomor 5 tahun 1990.

“Populasi maleo di Sulawesi khususnya di Sulawesi Tengah sudah sangat terbatas. Untuk itu, saya berharap dengan adanya kerjasama bersama DSLNG, satwa ini bisa lestari,” imbuhnya.

Habitat nan cantik dengan panjang 55 cm ini terdapat di beberapa tempat di Pulau Sulawesi. Diantaranya Kabupaten Toli-toli, Lore Lindu Kabupaten Sigi, Morowali Utara, Kecamatan Batui, Kecamatan Bualemo, Kabupaten Banggai.

“Jumlah populasi maleo yang hidup di Sulawesi Tengah saat ini tidak kurang dari 300 pasang maleo dewasa. Dengan jumlah yang ada maka sudah dikategorikan punah. Bahkan di Makassar Sulawesi Tengah, burung maleo itu hampir sudah tidak ditemui,” ujarnya.

Menurutnya salah satu tantangan BKSDA adalah merubah pola pikir masyarakat yang masih menjadikan telur maleo sebagai ritual adat.

“Perlahan-lahan kami memberikan pemahaman kepada masyarakat supaya tidak menggunakan telur maleo sebagai ritual adat lagi,” katanya.

Salah seorang peneliti burung maleo, Mubius Tanari mengungkapkan satwa ini memiliki keunikan antara lain sifatnya yang monogami dan ukuran telurnya yang besar. Di habitat aslinya, keberadaan burung ini menghadapi tekanan lingkungan dan aktivitas perambahan oleh manusia.

Burung maleo ini termasuk dalam 14 spesies prioritas utama terancam punah yang akan ditingkatkan populasinya hingga 3% dari kondisi populasinya tahun 2008 berdasarkan peraturan pemerintah.

“Pada saat bertelur satwa ini memiliki dua musuh utama yaitu internal dan eksternal. Musuh internal adalah predator dan eksternal adalah manusia yang mengambil telurnya dengan tujuan tertentu,” tuturnya.

Mubius Tanari yang sudah 14 tahun meneliti maleo menyebutkan, ancaman predator jauh lebih tinggi daripada manusia, terutama biawak. Kecepatan biawak menggali telur maleo tiga kali lipat lebih cepat ketimbang manusia.

“Saya sendiri sudah pernah membuktikan kecepatan biawak menggali telur maleo. Memang kondisi alam sekitar tidak memberikan peluang telur bisa menetas dengan bagus,” terangnya.

Berdasarkan hasil riset yang ia lakukan, telur maleo yang diambil pada musim hujan lalu ditetaskan kemungkinan menetasnya hanya 20 persen sisanya 80 persen telur tidak menetas,” terangnya.

Tetapi, jika telur diambil pada saat kondisi musim panas dan ditetaskan menggunakan inkubator yang digunakan dalam penangkaran Maleo Center DSLNG penetasan bisa berhasil 80-90 persen.

“Kalau dibandingkan kondisi alam dengan penetasan inkubator, maka penetasan melalui inkubator jauh lebih bagus, karena didalam inkubator temperaturnya terkontrol dengan baik,” jelasnya.

Pemerintah menargetkan harus ada peningkatan jumlah populasi maleo sebanyak 10 persen dari jumlah yang ada saat ini dalam kurun waktu lima tahun.

“Kalau kita punya target setiap tahun bisa melepas 50 ekor pertahun berarti dalam kurun lima tahun akan mencapai 250 ekor melampaui target yang ada. Disini bisa dilihat bagaimana kontribusi CSR DSLNG terhadap peningkatan populasi maleo di alam.” tandasnya.

Sebagai informasi PT. Donggi-Senoro LNG didirikan sebagai perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) pada tanggal 28 Desember 2017, sebagai kerjasama antara perusahaan energy terkemuka yang terdiri atas PT Pertamina (Persero), PT Medco Energi Internasional Tbk, Mitsubishi Corporation, dan Korea Gas Corporation.

Kilang DSLNG merupakan proyek LNG pertama di Indonesia yang dikembangkan sebagai usaha hilir migas, berdasarkan Undang-Undang RI No.22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi.

Skema hilir ini memungkinkan pengembangan usaha terpisah antara kegiatan hulu (penyediaan bahan baku gas) dan kegiatan hilir (kilang LNG). (Sarifah Latowa)

CAPTION : Kepala BKSDA Palu Noel Yayuk Allo dan Manager Corporate Sosial Responsibility (CSR) PT. Donggi–Senoro Tik Djuliatno Pumono saat melepasliarkan burung maleo di kawasan Suaka Margasatwa Bakiriang.

(Karya ini diikutkan dalam lomba karya jurnalistik AJD Tahun 2018)

Silakan komentar Anda Disini….