PALU, Kabar Selebes – Memperingati Hari Pahlawan 10 November 2019, Sulawesi Tengah se Nusantara (Surabe) 289 sebagai salah satu channel di aplikasi Indo VWT menggelar diskusi virtual bertema pahlawan lokal dari Kabupaten Tolitoli, Hi Hayun. Diskusi yang berlangsung selama tiga jam tersebut menghadirkan narasumber dari akademisi Universitas Tadulako, Dr. Lukman Nadjamuddin.
Dalam pemaparannya, Lukman yang banyak menulis tentang sejarah lokal ini menganggap perlu upaya serius untuk menggali sejarah tentang keberadaan Hi Hayun. Di Tolitoli, terutama di Desa Salumpaga, sosok Hi Hayun dianggap paling berjasa dalam upaya melawan penjajahan belanda pada masa kolonial. Perjuangnnya, mendapat perhatian setelah meletusnya gerakan pemberontakan yang dikenal sebagai peristiwa Salumpaga 15 Juni 1919.
“Kalau kita melihat literatur-literatur mengenai sejarah, hanya Hi Hayun yang dalam pergeralannya menentang Belanda itu memiliki jaringan secara nasional. Dalam hal ini dengan Sarekat Islam (SI). Dan yang menarik lagi, banyak dalm buku-buku standar bacaan wajib bagi para mahasiswa dan kalangan pecinta sejarah, misalnya dalam buku yang editornya Sartono Kartodirjo,tentang sejarah Indonesia enam jilid. Disana jelas dituliskan bagaimana perjuangan Hi Hayun yang terjadi pada tanggal 5 Juni 1919. Dan masih ada beberapa buku-buka lainnya yang menyinggung nama Hi Hayun” jelas Lukman dalam paparan awal diskusinya, Minggu malam (10/11/19).
Namun demikian menurut Lukman, Hi Hayun sampai saat ini belum mendapatkan apa yang layak dia dapatkan. Terlepas dari belum adanya penelitian serius yang komprehensif tentang sejarah sosok Hi Hayun, di wilayahnya sendiri di Tolitoli, sosok kepahlawanan Hi Hayun seperti direduksi. Tidak banyak penanda untuk mengabadikan nama besar Hi Hayun. Lukman sendiri mengaku senang ada banyak pihak yang kini mau membicarakan kembali sosok Hi Hayun. Termasuk yang dilaksanakan Channel 289 Surabe dengan berbasil modulasi virtual.
“Alhamdulillah, kita kembali memperingati tragedi perlawanan di Salumpaga yang terjadi seratus tahun silam. Ini menandakan bahwa kita masih mau mengingat sejarah,” tambah Lukman yang saat itu bermodulasi di Luwuk, Kabupaten Banggai.
Sejalan dengan Lukman, Ketua DPD Partai Gerindra Tolitoli, Andi Ahmad Syarif yang saat ini masih menjabat anggota DPRD Tolitoli, mengakui bahwa banyak faktor yang menjadikan Hi Hayun pantas dikenang dan ditulis dalam sejarah pergerakan melawan penjajah masa kolonial.
“Memang kalau kita mau mengajukan Hi Hayun sebagai pahlawan nasional agak rumit juga. Sebab harus memenuhi prasyarat yang ditentukan pemerintah. Misalnya tanggal lahir hingga makamnya harus jelas. Tapi kita harus berupaya, untuk memenuhi itu dengan dukungan dari semua elemen masyarakat,” jelas Andi Syarif yang saat itu berada di Tolitoli.
Sementara itu, Neni Muhidin, pegiat literasi di Palu
yang juga terkoneksi saat itu, mengajak para pihak untuk “move on” , terkait polemik yang terjadi di masyarakat Tolitoli
menanggapi sosok Hi Hayun jika dianggap atau diusulkan sebagai pahlawan.
“Kita akui, bahwa sejarah ini pasti akan menimbulkan jika diungkap seutuhnya. Pasti ada pergesekan secara emosional di sana dari kalangan kerabat yang saat ini masih hidup. Membicarakan yang A, pasti yang B akan mengalami problem psikologis. Penulisan-penulisan sejarah kita tidak akan komprehensif, kalau kita masih mempersoalkan hal-hal yang bisa menimbulkan sensitifitas emosional. Kalau pendekatan yang bisa dilakukan dalam penulisan sejarah ini, bisa dengan pendekatan Post Moderenism. Dengan catatan, semua harus “move on”.
Diskusi yang melibatakan puluhan user dari berbagai penjuru nusantara tersebut berlangsung hingga pukul 23.00 Wita.
Selaku Penanggung Jawab Channel (PJC) 289 Surabe, Juanda Ukum mengaku akan terus melakukan kegiatan serupa, merespon fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat dalam rangka membangun perilaku melek literasi.
“Alhamdulillah ini sudah keenam kalinya. Hampir setiap bulan kami melaksanakan kegiatan diskusi seperti ini. Selalu mengacu pada kalender hari-hari besar nasional dan isu-isu yang berkembang di masyarakat. Khususnya di Sulteng,” jelas Joe Ukum, panggilan akrabnya.
Menurut Joe, apa yang mereka lakukan adalah semata-mata untuk membangun kesadaran bersama tentang pentingnya literasi yang bisa dilakukan melalui berbagai media. “Kami merasa bersyukur dengan adanya Indo VWT, sebagai salah satu apikasi percakapan virtual karya anak bangsa, yang bisa menghubungkan orang-orang dari seluruh penjuru nusantara, bahkan dari luar negeri. Nah, kami di Surabe 289, memanfaatkan ini sebaik-baiknya untuk menambah kemampuan dan kecakapan dalam bermodulasi, dan tentunya untuk meningkatkan pengetahuan para user. Bukan hanya sebatas hiburan,” jelasnya. ****